BAB
I
TINJAUAN
TEORI
1.1 Anatomi
Fisiologi Hepar
A. Hati
Hati merupakan kelemjar terbesar di tubuh,
beratnya sekitar 1-2,3 kg. Hati beracda di bagian atas rongga abdomen yang
menempati bagian terbesar regio hipokondri Bagian atas dan anterior (Gambar
8.25) memiliki struktur yang halus terpasang tepat rmukaan diafragma; bagian
permukan posterior tampak tidak beraturan (Gambar 8.26). Hlati terbungkus dalam
kapsul tipis yang tidak elastis dan sebagian tertutupi oleh lapisan peritoneum.
Lipatan peritoneum membentuk ligamen
penunjang yang melekatkan hati pada permukaan inferior diafragma Hati memiliki
empat lobus. Dua lobus yang berukuran paling besar dan jelas terlihar adalah
lobus kanan yang berukuran lebih besar, sedangkan lobus yang berukuran lebih
kecil, berbentuk baji, adalah lobus kiri. Dua lobus lainnya adalah lobus
kaudatus dan kuadratus yang berada di permukaan posterior. Fisura porta
merupakan nama yang diberikan untuk permukaan posterior hati di mana banyak
struktur yang masuk dan keluar kelenjar.
B. Gambar
Vena porta masuk dan
membawa darah dari lambung, limpa, pankreas, usus halus, dan usus besar Arteri
hepatika masuk dan membawa darah arteri. Arteri ini merupakan cabang dari
arteri seliaka, yang merupakan cabang dari aorta abdomen. Arteri hepatika dan
vena porta membawa darah ke hati. Aliran balik bergantung pada banyaknya vena
hepatika yang meninggalkan permukaan posterior dan dengan segera masuk ke vena
kava inferior tepat di bawah diafragma.
Serat saraf simpatik
dan parasimpatik mempersarafi bagian ini. Duktus hepatika kanan dan kiri
keluar, membawa empedu dari hati ke kandung empedu. Pembuluh limfe meninggalkan
hati, lalu mengalirkan sebagian limfe ke nodus di abdomen dan sebagian nodus
torasik.
C. Struktur
Lobus hati disusun
oleh unit fungsional kecil, yang disebut lobulus, yang tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang. Lobulus hati berbentuk heksagonal (segi enam) di bagian
luarnya dan dibentuk oleh sel berbentuk kubus, yang disebut hepatosit, disusun
dalam pasangan kolom sel dan menyebar pada vena sentral. Antara dua pasang
kolum sel sinusoid (pembuluh darah dengan dinding yang tidak lengkap) berisi
campuran darah dari cabang-cabang kecil vena porta dan arteri hepatika. Susunan
ini memungkinkan darah arteri dan darah vena porta (dengan konsentrasi nutrien
yang tinggi) bercampur dan berdekatan dengan sel hati.
Di antara sel yang
melapisi sinusoid, terdapat makrofag (sel Kupffer) yang berfungsi untuk menelan
dan menghancurkan sel darah yang usang dan partikel asing yang ada di aliran
darah menuju hati. Darah mengalir dari sinusoid ke vena sentral atau vena
sentrilobular. Vena ini bergabung dengan vena dari lobulus lain, membentuk vena
besar hingga akhirnya vena ini membentuk vena hepatika, yang meninggalkan hati
dan menuju vena kava inferior. Gambar 8.27 menunjukkan sistem aliran darah
melalui hati.
Salah satu fungsi
hati adalah menyekresikan empedu. Pada Gambar 8.27 B, terlihat bahwa kanalikuli
bilier dapat berada di antara kolum sel hati. Ini berarti bahwa tiap kolum
hepatosit memiliki sinusoid darah pada salah satu sisi dan kanalikuli di sisi
lainnya. Kanalikuli bilier bergabung untuk membentuk duktus hepatika kiri dan
kanan, yang mengalirkan empedu dari hati. Jaringan limfoid dan sistem pembuluh
limfe juga ada di tiap lobules.
D. Fungsi Hati
Metabolisme
karbohidrat. Hati berperan penting dalam mempertahankan kadar glukosa plasma.
Setelah makan, saat glukosa darah meningkat, glukosa diubah menjadi glikogen
sebagai cadangan dan memengaruhi hormon insulin. Selanjutnya, saat kadar
glukosa turun, hormon glukagon merangsang perubahan glikogen kembali menjadi
glukosa dan menjaga kadar dalam kisaran normal.
Metabolisme lemak.
Cadangan lemak dapat diubah menjadi suatu bentuk energi yang dapat digunakan
jaringan.
Metabolisme protein. Metabolisme
protein terdiri atas tiga proses.
a. Deaminasi asam amino
melibatkan beberapa proses: menyingkirkan bagian nitrogen dari asam amino yang
tidak diperlukan untuk membentuk protein baru, pemecahan asam nukleat menjadi
asam urat, yang disebut asam nukleat
b. Transaminasi
merupakan penyingkiran bagian nitrogen asam amino dan melekatkan asam amino
pada molekul karbohidrat untuk membentuk asam amino non-esensial.
c. Sintesis protein
plasma dan sebagian besar faktor pembekuan darah dari asam amino
I.3 Hepatitis
A
A.
Definisi
Hepatitis adalah suatu peradangan
pada hati yang terjadi karena toksin seperti/kimia
atau obat atau agen penyakit infeksi. Hepatitis A adalah penyakit hati
yang disebabkan oleh virus hepatitis A. Virus ini menyebar terutama melalui
ingests makanan atau air yang terkontaminasi dengan tinja orang yang
terinfeksi. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kurangnya penggunaan air
bersih, sanitasi yang tidak memadai dan kebersihan pribadi yang buruk.Tidak
seperti hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A tidak menyebabkan penyakit hati
kronis dan jarang berakibat fatal, tetapi dapat menyebabkan gejala yang
melemahkan tubuh dan dapat menjadi hepatitis fulminan (gagal hati akut), yang
berhubungan dengan kematian yang tinggi (WHO 2012).\
B.
Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh Hepatitis-A Virus
(HAV). Umumnya tidak sampai menyebabkan kerusakan jaringan hati. Mereka yang
terinfeksi oleh virus ini, 99% dapat pulih sepenuhnya. Penyakit ini ditularkan terutama melalui
kontaminsai oral, fekal akibat hygiene yang buruk atau makanan yang tercema
misalnya : makan makanan dan minuman yang terkontaminasi feses pasien, makan
buah buahan yang belum dicuci, sayur yang tidak dimasak atau makan kerang yang
setengah matang, minum dengan es batu yang prosesnya terkontaminasi, pecandu narkotika
dan berhubungan seks anal termasuk homoseksual merupakan risiko tinggi tertular
hepatitis A.
C. Faktor Risiko Hepatitis A
Penularan hepatitis A sering terjadi dari orang ke
orang,. Virus ini menyebar melalui makanan atau air yang terkontaminasi dengan
tinja orang yang terinfeksi. Selain itu hepatitis A dapat terjadi pada
masyarakat yang :
1.
Hygine dan sanitasi
Lingkungan
Rendahnya kualitas sanitasi
lingkungan dan adanya pencemaran terhadap
sumber air atau makanan yang dikonsumsi banyak orang mempermudah terjadinya
penularan dan kejadian luar biasa hepatitis A. Kebiasaan masyarakat yang kurang
memerhatikan kebersihan lingkungan seperti BAB di sungai dapat meningkatkan
penularah hepatitis A. Tinja yang terkontaminasi hepatitis A akan mencemari lingkungan
lain. Seperti air, tanah dan lain-lain.
2.
Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi masyarakat akan mempengaruhi
ketersediaan air bersih dan perilaku hidup sehat serta kemampuan untuk
menyediakan atau memberikan vaksinasi hepatitis A. Masyarakat dengan ekonomi
sosial yang rendah pada umumnya jarang memperhatikan kualitas air yang di pakai
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Air dengan kualitas yang buruk bisa saja
terkontaminasi virus hepatitis A. Selain
itu keluarga yang memiliki ekonomi sosial yang rendah pada umumnya memiliki
tingkat pengetahuan rendah pula sehingga mereka tidak terlalu memikirkan
betapa pentingnya pemberian vaksinasi hepatitis A. Sehingga hepatitis a dapat
menular dengan cepat dari 1 orang ke orang lain.
3. Pola Hidup Bersih dan Sehat
Pola hidup bersih dan sehat merupakan masyarakat
merupakan hal yang sa ngat mempengaruhi
penularan hepatitis A. Polah hidup bersih dan sehat
yang rendah akan meningkatkan terjadinya penularan virus hepatitis tipe
A tersebut. Hepatitis A dapat dengan cepat menular di tempat penitipan bayi, virus ini akan menular dengan
cepat ketika si pengasuh bayi tidak mencuci tangan setelah mengganti popok
bayi. Kesadaran mencuci tangan juga sangat penting dalam menangani penularan
virus hepatitis. Kebiasaan buruk seperti berbagi makanan dan peralatan makan
dengan penderita hepatitis A juga sebagai salah satu media penularan penyakit
hepatitis A ini.
4. Gaya hidup
Gaya
hidup di masyarakat juga merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit
hepatitis. Kebiasaan memakan sayur mentah, seperti lalapan akan meningkatnya
kemungkinan penularan penyakit hepatitis A. Bahan makanan seperti sayur yang
terkontaminasi virus hepatitis A jika di konsumsi virus tersebut akan berpindah
kepada manusia. Virus tersebut akan menginfeksi manusia sehingga terjadi
penyakit hepatitis. (Aryana, 2015)
D.
Manifestasi
Seringkali infeksi hepatitis A pada anak anak
tidak menimbulkan gejala sedangkan pada orang dewasa menyebabkan gejala mirip
flu, rasa lelag, demam, diare, mual, nyeri perut, mata kuning dan hilangnya
nafsu makan. Gejala hilang sama sekali setelah 6 – 12 minggu, orang yang
terinfeksi hepatitis A akan kebal terhadap penyakit tersebut. Berbeda dengan
hepatitis B dan C, Dan infeksi hepatitis A tidak berkelanjutan ke hepatitis
kronik. Masa inkubasi 30 hari.
E.
Patofisiologi
Inflamasi yang menyebar pada hepar
(hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap
obat obatan dan bahan bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut
loobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri sering dengan
berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal hepar terganggu. Gangguan
terhadap suplai darah normal pada sel sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan
kerusakan sel sel hepar, setelah lewat masanya, sel sel hepar yang menjadi
rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel sel
hepar baru yang sehat. Oleh karenannya, sebagian besar klien yang mengalami
hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan
menyebabkan peningkatan suhu badan dan pergangan kapsul hati yang memicu
timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini
dimanifestasikan dengan ada rasa mual dan nyeri di ulu hati. Timbulnya ikterus
karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah biliribuan yang belum
mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya
kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran
pengangkutan bilirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus,
karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada
duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek) maupun bilirubin
yang sudah mengalami konjugasi (bilirubi direk).
Pada ikterus yang timbul disini terutama
disebabkan karena kesukan dalampengangkutan, konjugasi dan ekskresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak
pucat(abolis). Karena bilirubin konjugasi larut
dalam air, makan bilirubin dapat diekskresi kedalam kemih, sehingga menimbulkan
bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam garam empedu dalam darah yang
akan menimbulkan gatal gatal pada ikterus.
F.
UpayaUpaya Pencegahan
Untuk mencegah penularan dari virus HAV, hal yang
dapat dilakukan adalah menjaga kebersihan asupan makanan yang kita makan.
Beberapa kebiasaan baik yang bisa dilakukan
untuk tujuan ini diantaranya adalah dengan membiasakan mencuci tangan
menggunakan sabun sebelum makan, menjaga sanitasi makanan, serta
menghindari memakan makanan yang belum diketahui kebersihan pengolahannya
(makanan yang dijual dipinggir jalan, dll). Selain itu, pencegahan penyakit
Hepatitis A ini juga dapat dilakukan dengan pemberian vaksin Hepatitis A.
(Sari, 2008) Menurut WHO, cara terbaik dalam mencegah penularan Hepatitis A
adalah dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan vaksinasi. Aspek sanitasi
lingkungan merupakan hal yang penting agar penularan tidak cepat terjadi
sedangkan vaksinasi dimaksudkan sebagai perlindungan. Di Indonesia sendiri
terdapat undang undang yang memperkuat pentingnya melakukan vaksinasi untuk
mencegah terjangkitnya Hepatitis A. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013
Tentang Penyelenggaraan Imunisasi, terdapat 3 jenis imunisasi yang
diberikan kepada masyarakat khususnya pada bayi (untuk membentuk antibodi) yaitu
imunisasi wajib, imunisasi tambahan dan imunisasi pilihan.
Seperti yang tercantum pada Pasal 11 ayat 1 disebutkan
bahwa “jenis imunisasi pillihan dapat berupa imunisasi Haemophillus influenza
tipe b (Hib), Pneumokokus, Rotavirus, Influenza Varisela, Measles Mumps
Rubelle, Demam Tifoid, Hepatitis A, Human Papiloma Virus (HPV) dan
Japanese Encephalitis”. Walaupun kedudukan Hepatitis A dalam pelaksanaan
vaksinasi hanyalah sebagai imunisasi tambahan, akan tetapi
Hepatitis A merupakan
salah satu penyakit yang masuk ke dalam daftar penyakit yang dapat
dicegah melalui imunisasi dengan cara pemberian vaksin. Seperti yang tertera pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1611/Menkes/SK/XI/2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Imunisasi yaitu “Jenis jenis
penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian imunisasi meliputi penyakit
menular tertentu : a) jenis jenis penyakit menular tertentu sebagaimana
dimaksud meliputi antara lain penyakit Tuberculosis, Difteri, Pertusis, Campak,
Polio, Hepatitis B, Hepatitis A
Vaksinasi Hepatitis A sebaiknya diberikan kepada beberapa
jenis kondisi seperti :
a. Semua anak yang berusia dua tahun atau lebih
b. Anak dan remaja berusia 2-18 tahun yang tinggal di
daerah dimana program vaksinasi rutin dilakukan karena tingginya kejadian
penyakit
c. Penderita penyakit hati kronik
Pemberian vaksin
untuk Hepatitis A diharapkan dapat mengurangi kejadian Hepatitis A, karena
Hepatitis A merupakan jenis penyakit yang penularannya sangat cepat. Selain
itu, perbaikan sanitasi lingkungan sangat diperlukan agar meminimalisir
kejadian Hepatitis A.
Penyakit hepatitis
dapat menghinggap siapa saja tidak memandang segi usia atau faktor ekonomi.
Hepatitis dapat menyerang mulai dari balita, anak-anak hingga orang dewasa.
Untuk hepatitis A bila menyerang anak-anak mulai dari 1-18 tahun dapat
dilakukan vaksinasi dengan pemberian dosis vaksin 2 atau 3 tetes dosis vaksin
sesuai dengan standar pengobatan. Sedangkan
untuk orang dewasa dengan pemberian vaksinasi yang lebih besar dengan
jangka waktu pemberian vaksin 6-12 bulan setelah dosis pertama vaksin. Dengan pemberian vaksinasi ini merupakan upaya pencegahan
yang efektif dapat bertahan 15-20 tahun atau lebih. Pemberian vaksin bertujuan
mencegah sebelum terjadinya infeksi dari virus hepatitis A dan memberikan
perlindungan terhadap virus sedini mungkin 2-4 minggu setelah vaksinasi. (Price
, 2005)
Pemberian vaksinasi untuk hepatitis A, diberikan
kepada :
1. Mereka yang menggunakan obat-obat terlarang
(psikotropika/narkoba) dengan menggunakan jarum suntik
2. Mereka yang bekerja sebagai pramusaji, terutama mereka
yang memiliki makanan yang kurang
mendapatkan perhatian akan keamanan dan kebersihan dari makanan itu
sendiri.
3. Orang yang tinggal dalam satu pondok atau asrama yang
setiap harinya berkontak langsung. Mungkin diantara penghuni pondok asrama
memiliki riwayat penyakit hepatitis A.
4. Balita dan anak-anak yang
mungkin tinggal dalam lingkungan yang memiliki
tingkat resiko yang lebih tinggi akan hepatitis.
5. Seseorang yang suka melakukan oral seks/anal.
6. Seseorang yang teridentifikasi penyakit hati kronis.
Menjaga kebersihan
terhadap diri pribadi dan lingkungan sekitar tempat tinggal merupakan upaya awal yang sangat penting sebagai proses
pencegahan lebih dini sebelum terjangkit atau mengalami resiko yang
lebih tinggi terhadap serangan penyakit hepatitis. Selalu menjaga kebersihan
dengan mengawali langkah yang mudah salah
satunya dengan cara membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum dan
sesudah menyentuh sesuatu.
Namun bagi mereka
yang suka berpergian ke luar negeri yang mungkin di negara tersebut memiliki
sanitasi yang kurang baik sebagai pencegahan tak ada salahnya untuk melakukan
vaksinasi minimal 2 bulan sebelum melakukan perjalanan ke luar negeri. Akan
tetapi bagi mereka yang sudah teridentifikasi terkena virus hepatitis A (HAV),
globulin imun (IG) harus diberikan sesegera mungkin dengan pemberian vaksin
minimal 2 minggu setelah teridentifikasi virus hepatitis A
G.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk virus hepatitis A
(HAV). Pengobatan diberikan secara suportif bukan langsung kuratif. Medikasi
yang mungkin dapat diberikan meliputi analgesik, antiemetik, vaksin, dan
imunoglobulin. Pencegahan baik sebelum atau setelah terpapar HAV menjadi lebih
penting.Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk Hepatitis A, sebab infeksinya
sendiri biasanya akan sembuh sendiri.
Pemberian farmakoterapi adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi. Farmakoterapi atau obat-obatan yang biasa
digunakan adalah antipiretik analgesik atau penghilang demam dan rasa sakit,
antiemetik atau anti muntah, vaksin, dan imunoglobulin. Tidak ada terapi
spesifik yang tersedia. Para antienteroviral diteliti obat pleconaril
(Disoxaril; ViroPharma) tidak memiliki aktivitas terhadap virus hepatitis A
(HAV).
I.3 ASUHAN
KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
A.
Anamnesa
1.
Keluhan
Utama
·
Keluhan
bisa berupa nafsu makan menurun, muntah, emah, sakit kepala, batuk,sakit perut
kanan atas,demam dan kuning
2.
Riwayat
Kesehatan Sekarang
·
Riwayat
Kesehatan Sekarang Gejala awal biasanya sakit kepala, lemah anoreksia, mual
muntah, demam, nyeri perut kanan atas
3.
Riwayat
Kesehatan Dahulu
·
Riwayatkesehatan
dahulu dengan penyakit yang tidak pernah
diderita sebelumnya, kecelakaan yangtidak pernah dialami termasuk keracunan,
prosedur operasi dan perawatan rumah sakit juga perkembangan anak dibandingkan
dengan saudara-saudaranya.
4.
Riwayat
Kesehatan Keluarga
·
Berkaitan
erat dengan penyakit keturunan, cerita penyakit menular khususnya kira dengan
penyakit pencernaan
5.
Aktivitas
dan istirahat
·
Gejala:
kelemahan, pemulihan, malaise umum,
·
Tanda:
bradikardi, internal pada escelera, kulit dan membran mukosa
6.
Sirkulasi
·
Gejala:
gangguan hati
·
Tanda:
bradikardi, internal pada escelera, kulit dan membran mukosa
7.
Neurosensasi
·
Gejala:
marah, khawatir, perasaan takut
·
Tanda:
peka rangsang, menolak, cenderung tidur, dan asteriksis
8.
Eliminasi
·
Gejala:
urin gelap dan diare
·
Tanda :
reses berwarna tanah liat
9.
Makan
dan cairan
·
Gejala:hilang
nafsu makan, menurunnya berat badan, mual dan muntah
·
Tanda:
asites
10. Nyeri kenyamanan
·
Gejala:
nyeri tekan pada kudaran jangan atas, sakit kepala
·
Tanda:
otot tegang dan gelisah
11. Pernafasan
·
Gejala:
tidak minta atau enggan merokok
·
Tanda:
peningkatan frekuensi pernafasan dan sesak
12. Keadaan
·
Adanya
transfusi darah
·
Tanda:
demam, urtikaria, lesi
B.
Pemeriksaan
Fisik
Kelainan pada pemeriksaan fisik baru terlihat
saat fase ikterik. Tampak ikterus pada kulit maupun di selaput lendir. Selaput
lendir yang mudah dilihat ialah di sklera mata, palatum molle, dan frenulum
lingua. Pada umumnya tidak ada mulut yang berbau (foeter hepatikum) kecuali
pada penderita hepatitis yang berat misalnya pada hepatitis fulminan. Sangat
jarang ditemukan spider nevi, eritema palmaris, dan kelainan pada kuku (liver
nail), jika ditemukan pada fase ikterik tanda tersebut akan menghilang pada
fase konvalesen. Hati teraba sedikit membesar (sekitar 2-3 cm dibawah arkus
koste dan dibawah tulang rawan iga) dengan konsistensi lembek, tepi yang tajam
dan sedikit nyeri tekan terdapat pada+ 70% penderita. Ditemukan fist percussion
positif (dengan memukulkan kepala tangan kanan pelan-pelan pada telapak tangan
kiri yang diletakkan pada arkus kostarum kanan penderita dan penderita
merasakan nyeri). Kadang-kadang ditemukan adenopati servikal pada 10-20 %
penderita dan teraba limpa yang lembek sekitar + 20% atau terisinya ruang
Traube pada + 30% penderita. Tidak ditemukan ascites. Tidak banyak ditemukan
kelainan pada kulit, kecuali pada pasien yang mengalami urtikaria yang umumnya
bersifat sementara.
C.
Pemeriksaan
penunjang
·
Analisis
reses untuk menemukan antigen hepatitis A
·
Antibodi
serum virus hepatitis A: Immunoglobulin
II. DIAGNOSA
a.
Hipertermi
berhubungan dengan infeksi penyakit
b.
Nyeri
akut berhubungan dengan agent pencedera fisiologis( mis: inflamasi, iskemia,
neoplasma)
c.
Defisit
nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis ( mis: stres, keenggangan untuk
makan)
d.
Keletihan
berhubungan dengan kondisi fisiologis (mis: penyakit kronis, penyakit termina,
anemia, mal nutrisi, kehamilan)
e.
Gangguan
rasa nyaman berhubungan dengan gangguan gejala penyakit
III. INTERVENSI
1. Diagnosa
1: Hipertermi berhubungan dengan infeksi penyakit
Intervensi :
a). Manajemen Hipertermi
Observasi
1. Identifikasi penyebab hipertermia (mis. dehidrasi, terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)
2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor kadar elektrolit
4. Monitor haluaran urine
5. Monitor komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik
1.
Sediakan
lingkungan yang dingin
2.
Longgarkan
atau lepaskan pakaian
3.
Basahi dan kipasi permukaan tubuh
4.
Berikan
cairan oral
5.
Ganti
linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis (keringat
berlebih)
6.
Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau kompres dingin
pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
7.
Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
8.
Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1.
Anjurkan
tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
b). Regulasi Temperatur
Observasi
1. Monitor Suhu Bayi
sampai stabil (36,5'C - 37,5'C)
2. Monitor Suhu tubuh
Anak tiap dua jam jika perlu
3. Monitor tekanan
darah, Frekuensi Pernapasan dan nadi
4. Monitor Warna dan
Suhu kulit
5. Monitor dan Catat
tanda dan gejala hipotermia dan hipertermia
Terapeutik
1. Pasang alat pemantau
suhu kontinu, jika perlu
2. Tingkatkan Asupan
Cairan dan nutrisi yang adekuat
3. Bedong bayi segera
setelah lahir untuk mencegah kehilangan panas Masukan Bayi BBLR ke dalam
plastik segera setelah lahir ( mis. Bahan polyethylene, polyurethane)
4. Gunakan Topi bayi
untuk mencegah kehilangan panas pada bayi baru lahir
5. Tempatkan bayin baru lahir dibawah radiant warmer
6. pertahankan
Kelembapan Inkubator 50 % atau lebih untuk mengurangi kehilangan panas karena
proses evaporasi
7. Atur Suhu inkubator
sesuai kebutuhan
8. Hangatkan terlebih
dahulu bahan-bahan yang akan kontak dengan bayi (mis. Selimut, kain, bedongan,
stetoskop)
9. Hindari meletakan
bayi didekat jendela terbuka atau di area aliran pendingin ruangan atau kipas angina
10. Gunakan kasur
pendingin , Water Circulating blankets, ice pack atau gel pad dan Intravaskular
cooling Catheterization untuk menurunkan suhu tubuh
11. Sesuaikan Suhu
lingkungan dengan kebutuhan pasien
Edukasi
1. Jelaskan cara
pencegahan Heat exhaustion dan heat stroke
2. Jelaskan Cara
pencegahan hipotermi karena terpapar udara dingin
3. Demonstrasikan Teknik
perawatan metode kanguru (PMK) untuk bayi BBLR
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antipiretik, jika perlu
2. Diagnosa
2: Nyeri akut berhubungan dengan agent pencedera fisiologis( mis: inflamasi,
iskemia, neoplasma)
Intervensi :
a). Manajemen
nyeri
Observasi
1.
Identifikasi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2.
Identifikasi
skala nyeri
3.
Identifikasi
respon nyeri non verbal
4.
Identifikasi
faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5.
Identifikasi
pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6.
Identifikasi
pengaruh budaya terhadap rspon nyeri
7.
Identifikasi
pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8.
Monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9.
Monitor
efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1.
Berikan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapipijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbi,bing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2.
Kontrol
lingkungan yang memperberat rasa nyaer (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3.
Fasilitasi
istirahat dan tidur
4.
Pertimbangkan
jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1.
Jelaskan
penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2.
Jelaskan
strategi meredakan nyeri
3.
Anjurkan
memonitor nyeri secara mandiri
4.
Anjurkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
5.
Kolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu
b).
Pemberian analgesik
Observasi
1.
Identifikasi
karakteristik nyeri (mis. Pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
2.
Identifikasi
riwayat alergi obat
3.
Identifikasi
kesesuaian jenis analgetik (mis. Narkotikan, non narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4.
Monitor
tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat
5.
Monitor efektifitas analgetik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgetik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan penggunaan infus kontinue, atau
bolus oploid untuk mempertahankan kadar dalam serum
3. Tetapkan target efektifitas analgetik untuk
mengoptimalkan respons pasien
4. Dokumentasikan respon terhadap efek analgesik
dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
1.
Jelaskan
efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1.
Kolaborasi
pemberian dosis dan jenis analgetik sesuai indikasi
Intervensi
pendukung
3. Diagnosa
3 : defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis ( mis: stres,
keenggangan untuk makan)
Intervensi :
a). Manajemen Nutrisi
Observasi
1.
Identifikasi status nutrisi
2.
Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3.
Identifikasi makanan yang disukai
4.
Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
5.
Identifikasi perlunya penggunaan selang
nasogastrik
6.
Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil
pemeriksaan laboratotium
Terapeutik
1.
Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2.
Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis:
piramida makanan)
3.
Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
sesuai
4.
Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
5.
Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
6.
Berikan suplemen makanan, jika perlu
7.
Hentikan pemberian makanan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang
didiprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan (mis: pereda nyeri, antiemetik) jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan
b). Promosi Berat Badan
Observasi
1.
Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
2.
Monitor adanya mual dan muntah
3.
Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi
4.
Monitor berat badan
5.
Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit,
sserum
Terapeutik
1.
Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan,
jika perlu
2.
Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi
pasien (mis, makanan dengan tekstur halus, makanan yang diblender, makanan cair
yang diberikan melalui NGT atau gastrostomi, total parenteral nutrition sesuai
indikasi)
3.
Hidangkan makanan secara menarik
4.
Berikan suplemen, jika perlu
5.
Berikan pujian pada klien / keluarga untuk
peningkatan yang dicapai
Edukasi
1.
Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun
tetap terjangkau
2.
Jelaskan peningkatan asupan kalori yang
ddibutuhkan
4. Diagnosa
4 : keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis (mis: penyakit kronis,
penyakit termina, anemia, mal nutrisi, kehamilan)
Intervensi :
a). Edukasi Aktivitas/istirahat
Observasi
1. Identifikasi kesiapan
dan kemampuan menerima informasi
Terapeutik
1. Sediakan materi dan
media pengaturan aktivitas dan istirahat
2. Jadwalkan pemberian
pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
3. Berikan kesempatan
kepada pasien dan keluarga untuk bertanya
Edukasi
1. Jelaskan pentingnya
melakukan aktivitas fisik/olahraga secara rutin
2. Anjurkan terlibat
dalam aktivitas kelompok, aktivitas bermain atau aktivitas lainnya
3. Anjurkan menyusun
jadwal aktivitas dan istirahat
4. Ajarkan cara
mengidentifikasi kebutuhan istirahat (mis. kelelahan, sesak napas saat
aktivitas)
5. Ajarkan cara
mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai kemampuan
b). Manajemen Energi
Observasi
1. Identifikasi gangguan
fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
2. Monitor kelelahan
fisik dan emosional
3. Monitor pola dan jam
tidur
4. Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
1. Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan)
2. Lakukan latihan
rentang gerak pasif dan/atau aktif
3. Berikan aktivitas
distraksi yang menenangkan
4. Fasilitasi duduk di
sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi
koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
1.
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan.
5. Diagnosa
5 : gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gangguan gejala penyakit
Intervensi:
a). Manajemen nyeri
Observasi
1.
Identifikasi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2.
Identifikasi
skala nyeri
3.
Identifikasi
respon nyeri non verbal
4.
Identifikasi
faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5.
Identifikasi
pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6.
Identifikasi
pengaruh budaya terhadap rspon nyeri
7.
Identifikasi
pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8.
Monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9.
Monitor
efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapipijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbi,bing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyaer (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1.
Jelaskan
penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2.
Jelaskan
strategi meredakan nyeri
3.
Anjurkan
memonitor nyeri secara mandiri
4.
Anjurkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
1.
Kolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu
b). Terapi Relaksasi
Observasi
1.
Identifikasi penurunan tingkat energi,
ketidakmampuan berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengganggu kemampuan
kognitif
2.
Identifikasi teknik relaksasi yang pernah
efektif digunakan
3.
Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan
penggunaan teknik sebelumnya
4.
Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan
darah, dan suhu sebelum dan sesudah latihan
5.
Monitor respons terhadap terapi relaksasi
Terapeutik
1. Ciptakan lingkungan
tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika
memungkinkan
2. Berikan informasi
tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik relaksasi
3. Gunakan pakaian
longgar
4. Gunakan nada suara
lembut dengan irama lambat dan berirama
5. Gunakan relaksasi
sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau tindakan medis lain, jika
sesuai
Edukasi
1. Jelaskan tujuan,
manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia (mis. musik, meditasi napas
dalam, relaksasi otot progresif)
2. Jelaskan secara rinci
intervensi relaksasi yang dipilih
3. Anjurkan mengambil
posisi nyaman
4. Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi relaksasi
5. Anjurkan sering
mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
6. Demonstrasikan dan
latih teknik relaksasi (mis. napas dalam, peregangan, atau imajnas terbimbing)
c). Pengaturan Posisi
Observasi
1.
Monitor
status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi
2.
Monitor
alat traksi selalu tepat
Terapeutik
1.
Tempatkan
pada matras/ tempat tidur terapeutik yang tepat
2.
Tempatkan
pada posisi terapeutik
3.
Tempatkan
objek yang sering digunakan dalam jangkauan
4.
Atur
posisi yang meningkatkan drainage
5.
Tinggikan
tempat tidru bagian kepala
6.
Berikan
bantal yang tepat pada leher
7.
Ubah
posisi setiap 2 jam
Edukasi
1.
Informasikam
saat akan dilakukan perubahan posisi
2.
Ajarkan
cara menggunakan postur yang baik dan mekanik tubuh yang baim selama melakukan
perubahan posisi
Kolaborasi
1.
Kolaborasi
bpemberian premedikasi sebelum mengubah posisi, jijka perlu
Daftar
Pustaka
Tim
Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesi, Deinis dan Indikator Diagnostik Ed.1. Jakarta
: Dewan Pengurus Pusat Perawat Nasional Indonesia
Tim
Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia, Definisi dan Tindakan Keperawatan
Ed.1.Cetakan II. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Perawat Nasional Indonesia
Speer, Kathleen M. 2005. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik .
Jakarta: EGC.
Burruner
& Suddart: alih bahasa, Devi Yulianti, Amelia Kimin. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 12. Jakarta
: EGC
0 komentar:
Posting Komentar